Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/621
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorHARAHAP, HUSEIN-
dc.date.accessioned2021-02-16T06:53:57Z-
dc.date.available2021-02-16T06:53:57Z-
dc.date.issued2021-02-16-
dc.identifier.urihttp://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/621-
dc.description.abstractDalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVIII pasal 164 dinyatakan bahwa “Seorang wanita dalam iddah talak raj‟i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan oleh dua orang saksi” selanjutnya pada pasal 165 dinyatakan juga bahwa “Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama”. Dari dua pasal yang terdapat dalam KHI tersebut dipastikan bahwa kedudukan persetujuan istri adalah syarat untuk dapat diterimanya kehendak rujuk seorang laki-laki kepada bekas istrinya. Sementara yang termaktub di dalam kitab–kitab fikih (klasik) pendapat Imam Syafi’i menyatakan bahwa seorang lelaki berhak merujuk istrinya tersebut selagi masih dalam masa Iddah meskipun istrinya tersebut tidak setuju, bahkan meskipun rujuknya tersebut dinyatakan tidak di hadapan bekas istrinya. Dari dua redaksi di atas jelas nampak suatu perbedaan antara ketetapan yang terdapat dalam KHI dengan pendapat Imam Syafi’i, bahkan bila dilihat lebih dalam terkesan kontradiktif. Dimana KHI menjadikan persetujuan istri sebagai syarat untuk dapat diterimanya kehendak rujuk bekas suaminya, sementara Imam Syafi’i menyatakan sah rujuk suami kepada istrinya tanpa perlu adanya persetujuan istri bahkan meskipun sang istri merasa enggan rujuk tetap dinyatakan sah. Dari hasil penelitian dan analisis yang berhasil penulis lakukan adalah bahwa apa yang ditetapkan dalam KHI bukanlah bertujuan untuk menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i, akan tetapi apa yang dilakukan oleh perumus KHI adalah suatu tuntutan hukum yang harus dilakukan dalam rangka mengaktualisasikan dan mengkondisikan hukum agar tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Khususnya masyarakat muslim Indonesia. Hal ini juga tentunya didasari oleh semangat pembaharuan hukum yang terus harus berkembang seiring dengan perubahan waktu dan tempat yang terjadi. Jadi ketetapan yang dilakukan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang syarat harus adanya persetujuan istri atas kehendak rujuk yang diajukan oleh suaminya tersebut merupakan tuntutan keadaan (waktu dan tempat), dimana ketetapan tersebut bertujuan untuk lebih menjaga dan memelihara hak-hak yang terdapat pada istri khusus untuk perkara tersebut dan khususnya di kalangan muslim Indonesia sudah mulai terancam kemaslahatannya.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Agama Islam, Universitas Islam Sumatera Utaraen_US
dc.relation.ispartofseriesUISU200271;-
dc.titleHAK ISTRI MENOLAK RUJUK DALAM MASA IDDAH TALAK RAJ’I PERSPEKTIF SYAFI’I DAN KOMPILASI HUKUM ISLAMen_US
dc.typeThesisen_US
Appears in Collections:Ahwal Al-Syakhsiyah

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover, Bibliography.pdfCover, Bibliography570.93 kBAdobe PDFView/Open
Abstract.pdfAbstract126.71 kBAdobe PDFView/Open
Chapter I.pdfChapter I272.01 kBAdobe PDFView/Open
Chapter II, III, IV, V.pdf
  Restricted Access
Chapter II, III, IV, V1.14 MBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.