Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/3557
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorRITONGA, BRIMOB-
dc.date.accessioned2024-09-03T03:39:53Z-
dc.date.available2024-09-03T03:39:53Z-
dc.date.issued2024-08-20-
dc.identifier.urihttp://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/3557-
dc.description.abstractABSTRAK BRIMOB RITONGA Hakim Mahkamah Konstitusi merupakan pejabat negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili proses peradilan di Mahkamah Konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hakim Mahkamah Konstitusi ditetapkan oleh Presiden berjumlah sembilan orang yang diajukan masing-masing tiga orang dari tiga lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Presiden. Tiga lembaga negara tersebut memiliki kewengan untuk mengajukan, akan tetapi tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan. Hakim konstitusi dapat diberhentikan baik dengan hormat dan tidak dengan hormat apabila telah memenuhi unsur-unsur dan harus melalui proses sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach), yaitu meninjau kasus pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022. Mahkamah Konstitusi mengalami konflik konstitusional dengan Dewan Perwakilan Rakyat karena memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto yang diusulkannya menjadi hakim konstitusi. Pemberhentian itu disepakati untuk dikirimkan ke Presiden pada 29 September 2022, kemudian mengajukan Guntur Hamzah sebagai pengganti. Pemberhentian itu merupakan pelanggaran konstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang saat ini berlaku. Dari fenomena tersebut, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan Permohonan pengaduan konstitusional dan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan permberhentian hakim konstitusi tersebut, serta menguji pasal masa jabatan hakim mahkamah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 87 huruf b Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Setelah ditinjau, kesimpulan dalam penelitian ini menyatakan bahwa, berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tindakan Dewan Perwakilan Rakyat memberhentikan Aswanto mutlak salah secara hukum. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, Mahkamah menolak seluruh dalil Pemohon, kemudian menegaskan bahwa tidak ada yang dapat memberhentikan hakim konstitusi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Hakim Aswanto tidak dapat diberhentikan. Kata Kunci: Hakim Mahkamah Konstitusi, Pembehentian, Pengaduan Konstitusional, Pengujian Undang-Undang.en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utaraen_US
dc.relation.ispartofseries;71210111123-
dc.subjectakim Mahkamah Konstitusi, Pembehentian, Pengaduan Konstitusional, Pengujian Undang-Undang.en_US
dc.titleANALISIS YURIDIS PEMBERHENTIAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DITINJAU DARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 103/PUU-XX/2022en_US
dc.typeThesisen_US
Appears in Collections:Ilmu Hukum

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover, Bibliography.pdfCover, Bibliography374.95 kBAdobe PDFView/Open
Abstract.pdfAbstract11.03 kBAdobe PDFView/Open
Chapter I,II.pdfChapter I,II356.59 kBAdobe PDFView/Open
Chapter III,IV,V.pdf
  Restricted Access
Chapter III,IV,V410.46 kBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.