Please use this identifier to cite or link to this item: http://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/490
Full metadata record
DC FieldValueLanguage
dc.contributor.authorHARAHAP, IRPAN-
dc.date.accessioned2021-01-20T04:10:59Z-
dc.date.available2021-01-20T04:10:59Z-
dc.date.issued2021-01-20-
dc.identifier.urihttp://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/490-
dc.description.abstractHarta benda wakaf dikelola dan diawasi oleh seorang nazhir (orang yang diberi amanat oleh pemilik harta wakaf), namun dalam pengelolaannya seorang nazhir menyalahi aturan dalam mengelola harta wakaf. Salah satunya yaitu menjaminkan harta wakaf untuk mendapatkan uang, dan uang tersebut digunakan untuk pemeliharaan harta wakaf. Apabila tidak memiliki uang untuk pemeliharaan dikhawatirkan harta wakaf tidak bermanfaat sebagaimana mestinya. Pada dasarnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Harta benda wakaf adalah salah satu kajian dari hukum wakaf. Sedangkan dalam bidang ekonomi wakaf berperan penting dalam menopang kehidupan sosial ekonomi umat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik komparatif, menggambarkan dan menguraikan secara rinci tanah wakaf sebagai jaminan utang menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 kemudian dianalisis dan dikomparasikan dengan pandangan pemikiran kedua hukum tersebut. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: Tanah wakaf merupakan hak Allah SWT, tanah wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan dan sebagainya yang dikuasakan kepada nazhir dan digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu yang diridhoi Allah SWT guna kehidupan dunia dan akhirat. Memanfaatkan tanah wakaf berarti mengambil manfaat, tanpa meniadakan benda asalnya atau pokoknya, tetap tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Oleh sebab itu Islam melarang dengan tegas untuk tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, tidak boleh berutang atas nama wakaf, tidak boleh menggadaikan harta wakaf, tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran, kecuali alasan hukum, dan tidak boleh meminjamkan harta wakaf. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40 melarang keras tanah wakaf dijadikan jaminan utang, karena dikhawatirkan disita karena tidak bisa membayar utang selain itu berhentilah amalan wakaf tersebut. Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 67: Bagi yang sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk mengalihkan kepada hak lainnya tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin dipenjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), dan bagi yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelola dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).en_US
dc.language.isootheren_US
dc.publisherFakultas Agama Islam, Universitas Islam Sumatera Utaraen_US
dc.relation.ispartofseriesUISU200139;-
dc.titleTANAH WAKAF SEBAGAI JAMINAN UTANG DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 41 TAHUN 2004en_US
dc.typeThesisen_US
Appears in Collections:Ahwal Al-Syakhsiyah

Files in This Item:
File Description SizeFormat 
Cover, Bibliography.pdfCover, Bibliography853.95 kBAdobe PDFView/Open
Abstract.pdfAbstract850.27 kBAdobe PDFView/Open
Chapter I.pdfChapter I854.81 kBAdobe PDFView/Open
Chapter II, III, IV, V.pdf
  Restricted Access
Chapter II, III, IV, V869.21 kBAdobe PDFView/Open Request a copy


Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.